Update your Cookie Settings to use this feature.
Click 'Allow All' or just activate the 'Targeting Cookies'
By continuing you accept Avaaz's Privacy Policy which explains how your data can be used and how it is secured.
Got it
We use cookies to analyse how visitors use this website and to help us provide you the best possible experience. View our Cookie Policy .
OK
Justice and Human Rights for Religious Pluralist and Freedom Fighter Anand Krishna

Justice and Human Rights for Religious Pluralist and Freedom Fighter Anand Krishna

1 have signed. Let's get to
50 Supporters

Close

Complete your signature

,
By continuing you agree to receive Avaaz emails. Our Privacy Policy will protect your data and explains how it can be used. You can unsubscribe at any time. If you are under 13 years of age in the USA or under 16 in the rest of the world, please get consent from a parent or guardian before proceeding.
This petition has been created by Jane H. and may not represent the views of the Avaaz community.
Jane H.
started this petition to
The Government of Indonesia, The Supreme Court of Indonesia, DR.H. MUHAMMAD HATTA ALI, SH., MH - Head of The Supreme Court of Indonesia

Indonesian Supreme Court Throws Out Innocent Verdict for Spiritualist Anand Krishna, Sentencing Him to 2.5 Years of Prison

The travesties in the Case of Anand Krishna and for all Peoples who respect Justice, Freedom and Human Rights.


On November 22, 2011, following a trial that lasted nearly two years - prolific author, spiritual guru and front-line proponent in creating a pluralistic Indonesian society - Anand Krishna was found innocent in a South Jakarta Court of all criminal charges laid against him.

That trial, largely unprecedented in the annals of Indonesian jurisprudence, saw the State present a disjointed case in which the writings and teachings of Krishna urging religious tolerance and pluralism received more attention by the Court than evidence connected to the actual charges laid by a former female follower who said she had been sexually otraged by the spiritual guru.

The drama and intense media attention accompanying the trial intensified during a 49-day hunger strike initiated by Krishna and, later, the removal of presiding judge Hari Sasangka for fraternization with one of the prosecution’s main witnesses.

With the trial process largely in tatters, highly respected and fiercely independent jurists Albertina Ho was assigned to continue and finish the trial. Reviewing the evidence and recalling key witnesses, Judge Ho wasted little time ruling the evidence presented by the prosecution was totally inadequate to support the criminal charges against Anand Krishna. Judge Ho acquitted Krishna of all charges and ordering a full restoration of his civil rights.

Unhappy with the acquittal and in seeming disregard for Section 244 of the Indonesian Criminal Code (KUHP), prosecutors appealed Krishna’s acquittal to the Indonesian Supreme Court.

KUHP 244 stipulates that appeals cannot be brought to the Supreme Court when the defendant has been freed and declared innocent by the lower court.

Shortly after acquitting Krishna and following her fearless handling of politically charged cases involving tax manipulation by Gayus Tambunan and disgraced prosecutor Cirus Sinaga, Judge Ho was summarily reassigned to a backwater community on Bangka island.

Undeterred and taking legal refuge under a Minister of Justice 1983 decree that declared acquittals by a lower court could be challenged in the Supreme Court for reasons of “condition, law, justice and correctness,” prosecutors appealed Krishna's innocent verdict to the Supreme Court. In taking the position that a Ministerial Decree has greater legal weight than a formalized law, three judges ruled in late July 2012 that Justice Ho had erred in her absolute acquittal of Anand Krishna, concluding that he was in fact guilty of sexual molestation of a student or a person under his supervision in accordance with Indonesian criminal code (KUHP 294).

Withouth public trial, a pnael of judges, compirsing of Zaharuddin Utama, Achmad Yamanie and Sofyan Sitompul, in the Supreme Court overeturned the acquittal, sentencing Anand Krishna to 2,5 years in prison. The verdict is considered null and void under Indonesian Law for failing, on four counts, to comply with Article 197, section 1 of the Indonesia Criminal Code. The Supreme Court based their verdict to sentence Anand Krishna on an irrelevant case law belonging to a trademark dispute. Now, Anand Krishna is behind bars in Cipinang Penitentiary because of his ideas and his cuase to defend Justice and Human Rights.


INDONESIAN TRANSLATION:


Keadilan Bagi Yang Berhak. Mendukung Pembebasan Anand Krishna—Tokoh Spiritual Aktivis Lintas Agama dan Aktivis Perdamaian Dunia dari Indonesia.

Dibuat oleh

Jane H. Indonesia

Ditujukan kepada:

Pemerintah Indonesia, Mahkamah Agung

Kenapa saya menggugah dan mengajak Anda untuk mendukung petisi ini?

Anand Krishna sudah dinyatakan tidak bersalah atas tuduhan pelecehan seksual yang dialamatkan padanya, dan sudah diputus bebas oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel) yang dipimpin oleh hakim paling jujur di Indonesia, Albertina Ho.

Albertina Ho, hakim wanita yang berani dan berintegritas ini, samasekali tidak menemukan satu pun bukti tindakan asusila yang dituduhkan kepada Anand Krishna. Pada tanggal 22 November 2011 Hakim Ho memutus bebas penulis produktif dan pelopor gerakan penghargaan terhadap keberagaman di Indonesia ini, dan memerintahkan pemulihan martabat dan hak-haknya sebagai warga negara seperti sedia kala.

Namun, Mahkamah Agung (MA) justru menjatuhkan hukuman 2,5 tahun pernjara terhadapnya. Dalam hal ini Majelis Hakim MA telah tidak menggunakan instrumen hukum sebagai sarana melindungi dan memuliakan kebenaran dan keadilan, tapi sebaliknya sewenang-wenang mencederai kedua nilai tersebut dan menginjak-injak hak asasi manusia.

Sebelumnya sidang perkara Anand Krishna dipimpin oleh Hari Sasangka. Proses pengadilan berjalan timpang dan sangat janggal. Yang terjadi adalah menghakimi tulisan, buku-buku, dan pemikiran Krishna terkait toleransi beragama dan pluralisme ketimbang berupaya membuktikan tuduhan Tara Pradipta Laksmi yang mengaku telah dilecehkan oleh mentor spiritual tersebut.

Sebagai oknum penegak hukum Sasangka dengan sengaja melanggar hukum dengan menjebloskan penulis 160-an buku itu di penjara Cipinang sebelum ada keputusan hukum tetap. Tindakan anti keadilan-kebenaran yang dilakukan Sasangka diprotes keras Anand Krishna dengan melakukan aksi mogok makan selama 49 hari dan diliputi media cetak di dalam dan luar negeri serta media online.

Hari Sasangka digantikan oleh Albertina Ho atas rekomendasi Komisi Yudisial. Tindakan KY ini berdasarkan laporan tim pengacara Anand Krishna beserta bukti-bukti kuat bahwa Hari Sasangka telah ber-indehoi dengan salah satu saksi pihak Tara Pradipta Laksmi bernama Shinta Kencana Kheng.

Tidak senang dengan keputusan Ho dan sengaja menabrak pasal 244 KUHP, Jaksa Martha Berliana Tobing mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Padahal pasal 244 KUHP terang benderang menyatakan bahwa vonis bebas tidak bisa dibawa ke MA, karena terdakwa telah dibebaskan dan dinyatakan tak bersalah oleh pengadilan pada tingkat di bawahnya.

Tak lama setelah membebaskan Krishna, Hakim Ho yang dikenal tak kenal kompromi walau dalam mengadili Gayus Tambunan, petugas pajak yang korup dan juga Jaksa nakal Cirus Sinaga sekalipun, beliau dipindahkan ke pelosok di kepulauan Bangka sana.

Dengan berlindung di balik peraturan Menteri tahun 1983 yang menyatakan bahwa putusan bebas di pengadilan yang lebih rendah bisa dikasasi ke MA dengan alasan demi “kondisi tertentu, hukum, keadilan, dan kebenaran” jaksa membawa kasus Anand ke Mahkamah Agung. Padahal peraturan menteri jelas lebih rendah ketimbang putusan hukum berkekuatan tetap. Kendati demikian, pada akhir Juli 2012, MA membatalkan keputusan bebas dari Albertina Ho atas Anand Krishna, mereka menjeratnya dengan pasal 294 KUHP.

JPU Martha Berliana Tobing telah dengan jelas melanggar dan menabrak rambu-rambu hukum. Dan, Mahkamah Agung sebagai benteng tekahir yang melindungi keadilan dan kebenaranmalah membenarkan tindakan JPU.

Tanpa sidang umum, majelis Hakim Agung yang terdiri dari Zaharudding Utama, Achmad Yamanie, dan Sofyan Sitompul mengabulkan kasasi illegal dan menghukum Anand Krishna 2,5 tahun penjara. Putusan tersebut adalah batal demi hukum karena tidak memenuhi syarat-syarat pada pasal 197 ayat 1 huruf d, f, h dan l. Di dalam putusan Mahkamah Agung tersebut mencantumkan kasus orang lain di pengadilan tinggi Bandung (perebutan kasus merek) namun Anand Krishnalah yang dihukum penjara atas kasus orang lain. Sekarang Anand Krishna mendekam di Lapas Cipinang menjalani hukuman yang seharusnya kasus tersebutlah ada batal demi hukum. Beliau sekarang dibungkam dibalik jeruji dan sebetulnya yang dikriminalisasi adalah pemikirannya.

Mari kita gaungkan keprihatinan Sacha Stone dan mengikuti sikapnya untuk mendukung upaya pembebasan Anand Krishna. Sacha adalah orang asing, pendiri Humanitad, sebuah organisasi sosial di London yang membaktikan diri untuk mengkampanyekan toleransi antar budaya, lintas agama di seluruh dunia. Tuan Stone menyatakan: “Ketika hukum disalahgunakan, ketika integritas mereka yang bertanggung jawab menegakan hukum terjebak kepentingan pribadi, maka merupakan tanggung jawab semua orang merdeka untuk bahu-membahu berjuang mempertahankan kebebasan manusia yang paling hakiki. Upaya terbuka dan transparan oleh pihak ketiga yang independen dan tak memihak untuk meninjau ulang keputusan ini. Kiranya begitu jelas tak ada seorang pun yang berpendapat bahwa putusan MA terhadap Anand Krishna itu adil, transparan, tak memihak, dan independen.”


Posted (Updated )